Kamp Boven-Digoel, Tempat Diasingkannya Tokoh Bangsa

Potret Kamp Boven Digoel di Papua, tempat para tokoh bangsa diasingkan.

Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, ada satu tempat yang sangat terkenal bagi para tokoh-tokoh bangsa. namanya Boven Digoel, daerah yang dianggap 'neraka pembuangan' di zaman Kolonial. singkatnya, daerah ini berada di selatan Papua. mari meneganl sejarahnya.

METAIDE—Tersembunyi jauh di dalam hutan belantara yang dipenuhi risiko tersengat malaria di Nugini Belanda, terdapat sebuah kamp interniran Belanda yang memenjarakan banyak tokoh penting Indonesia kemudian.

Kamp tersebut terletak di hulu Sungai Digoel dan juga disebut sebagai Tanah Merah. Seorang jurnalis Belanda, Robbert van Leeuwen menulis kepada Historiek dalam artikelnya berjudul Boven-Digoel, een koloniaal interneringskamp in Nederlands-Indië, terbitan 21 Desember 2024, mewartakan histori tentang Boven-Digoel.

Menurut van Leeuwen, Kamp Boven-Digoel didirikan atas dasar kepanikan yang tergesa-gesa sebagai respons terhadap pemberontakan komunis di Jawa dan Sumatra dari bulan November 1926 hingga Januari 1927.

Pejabat kolonial berupaya untuk "menyingkirkan elemen paling berbahaya dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan tujuan guna mengisolasi mereka dengan sebaik-baiknya," imbuhnya.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, melalui 'haknya yang selangit', dapat menginternir orang-orang yang dianggap berbahaya bagi perdamaian dan ketertiban umum tanpa proses peradilan yang jelas.

Hal ini dipandang sebagai tindakan politik dan administratif dan bukan tindakan hukum, yang berarti tidak ada intervensi hukum. Alasan menjadi interniran tidak perlu dijelaskan, sehingga siapa pun tak dapat mengetahui alasan mengapa dirinya menjadi internir. 

Interniran diterapkan untuk jangka waktu yang tidak terbatas sampai Gubernur Jenderal tidak lagi melihat orang yang diinternir sebagai suatu bahaya. Sebuah hukuman yang sangat diktator, yang bahkan tak terpikirkan di negara asalnya, Belanda.

Ambil salah satu contoh, Gubernur Jenderal Jonkheer ACD de Graeff memutuskan untuk menginternir kaum komunis dalam skala besar, yang tidak dapat dibuktikan bahwa mereka terlibat dalam pemberontakan.

Pengangkutan pertama para interniran beserta keluarganya ke Boven-Digoel dilakukan pada tanggal 1 Februari 1927. Kamp tersebut terletak 270 kilometer dari Merauke, di bagian selatan Nugini Belanda.

Iklimnya tropis, lembab dan curah hujan tinggi. Berkat lokasinya yang sangat terpencil, pengawasan yang mahal tidak diperlukan karena untuk dapat meloloskan diri orang-orang herus menjelajah wilayah yang hampir sama sekali tidak dikenali.

Menekan biaya serendah mungkin jadi alasan dibangunnya kamp interniran. Tidak ada pagar di sekeliling kamp. Hal ini tidak perlu dilakukan, karena hutan lebat yang mengelilingi kamp hampir tidak dapat ditembus.

Sungai-sungai di sekitarnya dipenuhi buaya, penyakit tropis yang merajalela di hutan, dan masyarakat Papua di sekitarnya tidak selalu ramah terhadap orang asing. 

Kadang kala, interniran dapat terbunuh saat menjelajah masuk ke pedalaman Papua yang tak ramah. Upaya untuk melarikan diri sama saja dengan bunuh diri. Tidak pernah ada satu pun upaya pelarian yang berhasil selama masa hidup kamp tersebut.

Kontak dengan dunia luar sangat terbatas. Sebuah kapal yang membawa perbekalan dan surat yang disensor datang sebulan sekali.

Seiring berlalunya waktu, kafe-kafe ditambahkan, tempat para interniran bisa bermain biliar, dan beberapa restoran kecil. Para interniran tinggal di kampung-kampung yang diberi nomor dari A sampai F, yang mana 'A' paling dekat dengan sungai.

Gubernur Jenderal De Graeff memiliki 'pandangan etis': para tahanan harus dapat menjalani kehidupan 'normal' di Boven-Digoel. Tapi mereka dipaksa hidup normal dalam keadaan tidak normal.

Selama tahun 1927-1943 sekitar 3400 orang hidup dalam anomali ini. Para tahanan mungkin tidak dibunuh atau dianiaya secara fisik seperti di kamp konsentrasi, namun di bawah pemerintahan Belanda mereka dibiarkan mengurus diri mereka sendiri, yang mempunyai konsekuensi serius bagi kesehatan fisik dan mental mereka.

Penulis Mas Marco Kartodikromo dan istri di kamp interniran di Tanamerah, Boven Digoel. Pergerakan komunisme Islam yang dilakukan Haji Misbach sudah dimulai sejak 1914 ketika mengikuti Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang didirikan Marco.

Mungkin dua interniran Boven-Digoel yang paling terkenal adalah Soetan Sjahrir dan Mohammad Hatta. Setelah bocornya surat Hatta kepada iparnya tentang kondisi kamp yang keras, hal itu menimbulkan keresahan dalam Volksraad.

Disepakati bahwa Digoel tidak cocok untuk 'intelektual' seperti Sjahrir dan Hatta, karena itu mereka kemudian dipindahkan ke pulau Banda Neira di Maluku pada tahun 1936.

Selain itu, tokoh penulis, jurnalis dan intelektual lainnya adalah Marco Kartodikromo yang diasingkan ke Digoel karena dianggap beraliansi sejak komunisme Islam Haji Misbach beraksi sejak 1914. 

Namun sebaliknya, kondisi Tanah Merah yang memprihatinkan dan keras tidak menimbulkan masalah lebih lanjut bagi para narapidana yang kurang berpendidikan.

Kehidupan sehari-hari di Boven-Digoel terkadang terlihat aneh. Misalnya didirikan klub opera, serta grup seni pertunjukan tradisional Jawa dan Sumatra, band krontjong, Kunst en Sportvereeniging Digoel, dan band jazz bernama Digoel Sneert.

Sebuah masjid dan sekolah juga dibangun, serta hunian bagi para guru magang mengajar bahasa Belanda dan Indonesia.

Selain itu, di kampung B ada kesempatan untuk menonton film dan kabaret. Para narapidana pada umumnya mempunyai mentalitas 'manfaatkan sebaik-baiknya'.

Sebagian besar interniran di Tanah Merah termasuk di antara mereka yang 'bersedia bekerja', karena (putus asa) berharap bisa dibebaskan. Penahanan yang sering kali tanpa harapan ini merupakan siksaan terus-menerus bagi para tahanan. 

Elemen lain yang tidak biasa dari kamp ini adalah layanan kesehatan yang sangat baik, salah satu yang terbaik di Hindia Belanda bahkan. Tanpa kecuali, dokter-dokter terbaik dikirim ke kamp tersebut, terutama para ahli di bidang malaria dan penyakit tropis lainnya.

Hal ini perlu dilakukan karena para interniran dengan cepat jatuh sakit karena malaria merupakan penyakit yang umum terjadi di daerah tersebut.

Di kamp ada obsesi terhadap 'kebersihan'. Setiap hari pada jam 4 sore, para narapidana berkumpul di depan rumah sakit untuk menerima pil kina untuk melawan malaria, yang harus diminum di tempat di bawah pengawasan polisi.

Kadang-kadang orang menjadi sakit parah setelah beberapa saat meminum pil ini, yang mengakibatkan, misalnya, 'tuli kina'.

Selain Tanah Merah ada kamp kedua yang disebut Tanah Tinggi (dataran tinggi). Kamp ini terletak tiga puluh lima kilometer di hulu. Tanah Tinggi bahkan lebih terisolasi dibandingkan Tanah Merah dan kontak dengan pemerintah dan tentara sangat minim.

Di sini mereka yang 'tidak dapat didamaikan' diasingkan, bahkan dalam kondisi yang lebih bobrok dan miskin. Isolasi yang berkepanjangan menimbulkan banyak perselisihan di antara para interniran dan sangat membebani jiwa.

Terdapat juga perselisihan timbal balik di kedua kubu berdasarkan garis etnis dan politik, dengan banyak konflik yang berkobar antara orang Sumatera dan orang Jawa.

Meskipun sejak keberadaan Boven-Digoel telah terjadi diskusi baik di Belanda maupun di Hindia Belanda mengenai hak keberadaan kamp tidak sehat ini, namun kamp tersebut tidak pernah dihapuskan.

Baru pada tahun 1943, karena Belanda takut akan pembebasan orang-orang interniran oleh Jepang, para tahanan yang tersisa (beberapa ratus) dipindahkan dari Boven-Digoel ke Australia.

Menurut Charles O. van der Plas (1891-1977), yang memimpin organisasi evakuasi dari Boven-Digoul atas nama NICA (Nederland Indies Civil Administration), situasi di Australia sangat buruk.

Hanya ketika 'Digoulis' dari Tanah Merah menyerahkan diri kepada pemerintah Australia barulah mereka dibebaskan dari interniran Belanda di Australia.

Pada masa Perang Dekolonisasi Indonesia, Belanda menyarankan pembukaan kembali Boven-Digoel, namun pada tahun 1946 dilakukan persiapan untuk menutup kamp tersebut dan pada tahun 1947 letnan gubernur jenderal memutuskan untuk mengeluarkan dua puluh empat interniran terakhir dari Boven-Digoel.

Setelah itu, hingga penyerahan Nugini Belanda ke Indonesia pada tahun 1962, Tanah Merah berubah menjadi kota administratif yang sepi, di mana hutan liar perlahan-lahan menelan kamp interniran yang aneh dan tanpa ampun ini. (**)
--------
sumber National Geografic

Posting Komentar

0 Komentar